Muhammad Ade Ezhar
1505561
IEKI-2A
1505561
IEKI-2A
Bab 8 Landasan Historis Pendidikan
A. Pendidikan Zaman Hindu-Buddha
Pendidikan pada
zaman ini, selain diselenggarakan di dalam
keluarga dan didalam kehidupan keseharian masyarakat, juga diselenggarakan
di dalam lembaga pendidikan yang disebut Perguruan
(Paguron) atau Pesantren. Hal ini
sebagaimana telah berlangsung di kerajaan Tarumanegara dan Kutai. Pada awalnya
yang menjadi pendidik (guru atau pandita)
adalah kaum Brahmana, kemudian lama kelamaan para empu menjadi guru
menggantikan kedudukan para Brahmana. Terdapat tingkatan guru: pertama, guru (perguruan) keraton, di sini yang
menjadi murid-muridnya adalah para anak raja dan bangsawan; kedua adalah guru (perguruan) pertapa, di sini yang
menjadi murid-muridnya berasal dari kalangan rakyat jelata. Namun demikian para
guru pertapa juga biasanya selektif dalam menerima seseorang untuk menjadi
muridnya. Ini antara lain merupakan implikasi dari feodalisme yang berkembang
saat itu. Pendidikan bersifat aristokratis, artinya masih
terbatas hanya untuk minoritas yaitu anak-anak kasta Brahmana dan Ksatria, belum menjangkau masyarakat mayoritas, yaitu
anak-anak kasta Waisya dan Syudra, apalagi bagi anak-anak dari kasta Paria.
Pada zaman ini pengelolaan pendidikan bersifat otonom, artinya para pemimpin
pemerintahan (para raja) tidak turut campur mengenai pengelolaan pendidikan,
pengelolaan pendidikan bersifat otonom di tangan para guru atau pandita.
Tujuan pendidikan pada umumnya adalah agar para peserta
dididik menjadi penganut agama yang
taat, mampu hidup bermasyarakat sesuai tatanan masyarakat yang berlaku saat
itu, mampu membela diri dan membela negara. Kurikulum
pendidikannya meliputi agama, bahasa sansekerta termasuk membaca dan
menulis (huruf Palawa), kesusasteraan, keterampilan memahat atau membuat candi,
dan bela diri (ilmu berperang). Sesuai dengan jenis lembaga pendidikannya
(perguruan), maka metode atau
cara-cara pendidikannya pun adalah “Sistem
Guru Kula” . Dalam sistem ini murid tinggal bersama guru di rumah guru atau
asrama, murid mengabdi dan sekaligus belajar kepada guru.
Pada zaman
berkembangnya agama Budha yang berpusat di Kerajaan Sriwijaya (di Palembang),
telah terdapat “Perguruan Tinggi B udha”. Selain dari dalam negeri sendiri,
murid-muridnya juga berasal dari Tiongkok, Jepang, dan Indocina. Darmapala
sangat terkenal sebagai maha guru Budha. Perguruan-perguruan Budha menyebar ke
seluruh wilayah kekuasaan Sriwijaya. Mungkin sekali candi Borobudur, Mendut,
dan Kalasan merupakan pusat-pusat pendidikan agama Budha. Perhatikan hasil
sastra yang ditulis para empu (pujangga) yang bermutu tinggi. Contoh:
Pararaton, Negara Kertagama, Arjuna Wiwaha, dan Baratayuda. Para pujangga yang terkenal
antara lain Empu Kanwa, Empu Seddah, Empu Panuluh, dan Empu Prapanca (Idit
suhendi, dkk, 1991).
B.
Pendidikan Zaman Islam
Latar Belakang Sosial Budaya
Nusantara
memiliki letak yang strategis dalam rangka
pelayaran dan perdagangan. Ke negeri kita berdatangan pula para saudagar
beragama Islam. Melalui mereka para raja dan masyarakat pesisir memeluk agama
Islam. Pada pertengahan abad ke-14, kota Bandar Malaka ramai dikunjungi para
saudagar dari Asia Barat dan Jawa (Majapahit). Melalui para saudagar dari Jawa
yang masuk memeluk agama Islam, maka tersebarlah Islam ke pulau Jawa. Dalam
penyebaran agama Islam di pulau Jawa Anda juga mungkin masih ingat akan jasa
para wali yang dikenal sebagai Wali Sanga.
Akhirnya berdirilah kerajan-kerajaan Islam.
Pemerintahan
pada zaman ini dipimpin oleh raja. Di dalam wilayah kerajaan-kerajaan Islam
umumnya masyarakat tidak menganut stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Sesuai
ajaran Islam, masyarakat tidak membedakan manusia berdasarkan keturunan atau
kasta. Sekalipun zaman ini masih tetap terdapat kelompok raja dan para
bangsawan/para pegawai di satu pihak, dan terdapat kelompok rakyat jelata di
pihak lain, namun feodalisme di kalangan masyarakat pada umumnya mulai
ditinggalkan.
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan pada zaman kerajaan Islam diarahkan
agar manusia bertaqwa kepada Allah
S.W.T., sehingga mencapai keselamatan di dunia dan akhirat melalui “iman, ilmu
dan amal”. Selain berla ngsung di dalam keluarga, pendidikan berlangsung di
lembaga-lembaga pendidikan lainnya, seperti: di langgar-langgar, mesjid, dan
pesantren. Lembaga perguruan atau pesantren yang sudah ada sejak zaman
Hindu-Budha dilanjutkan oleh para wali, ustadz, dan atau ulama Islam. Kurikulum pendidikannya tidak tertulis (tidak ada kurikulum formal). Pendidikan
berisi tentang tauhid (pendidikan
keimanan terhadap Allah S.W.T.), Al-Qur’an, hadist, fikih, bahasa Arab termasuk
membaca dan menulis huruf Arab.
Pendidikan adalah
hak semua orang, bahkan semua orang wajib mencari ilmu, mendidik diri atau
belajar. Pendidikan pada zaman kerajaan Islam bersifat demokratis. Pada zaman
ini pendidikan dikelola oleh para ulama, ustadz atau guru. Raja tidak ikut
campur dalam pengelolaan pendidikan (pengelolaan pendidikanbersifat otonom).
Metode atau
cara-cara pendidikan. Pendidikan dilakukan dengan metode yang bervariasi, tergantung dengan sifat
materi pendidikan, tujuan, dan peserta didiknya. Contoh metode yang sering digunakan
adalah: ceramah atau tabligh
(wetonan) untuk menyampaikan materi ajar bagi orang banyak (belajar bersama)
biasanya dilakukan di mesjid; mengaji Al-Qur’an dan sorogan (cara-cara belajar individual). Dalam metode sorogan
walaupun para santri bersama-sama dalam satu ruangan, tetapi mereka belajar dan
diajar oleh ustadz secara individual. Cara-cara belajar dilakukan pula melalui nadoman atau lantunan lagu. Selain itu
dilakukan pula melalui media dan cerita-cerita yang telah digunakan para pandita Hindu-Budha, hanya saja isi
ajarannya diganti dengan ajaran yang Islami. Demikian pula dalam sistem
pesantren atau pondok asrama. Di langgar atau surau, selain melaksanakan
shalat, biasanya anak-anak belajar mengaji Al-Qur’an dan materi pendidikan yang
sifatnya mendasar . Adapun materi pendidikan yang lebih luas dan mendalam
dipelajari di pesantren.
C. Pendidikan Zaman Pendudukan Asing
Pada
tahun 1596 bangsa Belanda telah datang ke
negeri kita. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk berdagang. Pada tahun
1602 mereka mendirikan VOC. Karena VOC merupakan badan perdagangan milik
orang-orang Belanda yang beragama Protestan, maka selain berupaya menguasai
daerah untuk berdagang, juga untuk menyebarkan agama Protestan. Kekuasaan VOC
akhirnya diserahkan kepada Pemerintah Negeri Belanda, karena itu sejak tahun
1800-1942 negeri kita menjadi jajahan Pemerintah Kolonial Belanda.
Karaketristik
kondisi sosial budaya pada zaman ini antara lain: (1) berlangsungnya
kolonialisme, (2) dalam bidang ekonomi berlangsung monopoli perdagangan hasil
pertanian yang dibutuhkan dan laku di pasar dunia, (3) terdapat stratifikasi
sosial berdasarkan ras atau suku bangsa dengan urutan dari lapisan tertingi
s.d. terbawah sebagai berikut: bangsa Belanda, golongan orang Timur Asing,
golongan Priyayi/Bangsawan Pribumi, dan golongan Rakyat Jelata Pribumi.
Sejak
berkuasanya bangsa Belanda, bangsa kita ditindas dan diadu domba, kekuasaan
para raja dirampasnya, dan kekayaan alam Indonesia diangkutnya. Sesungguhnya
bangsa Indonesia terus berjuang melawan penjajahan ini, perlawanan dan
pemberontakan dilakukan oleh berbagai kelompok bangsa kita di berbagai daerah
di tanah air. Penjajahan yang telah berlangsung lama benar-benar telah
mengungkung kemajuan bangsa Indonesia, dan mengakibatkan kemelaratan serta kebodohan.
Seiring perjuangan bangsa yang tak pernah padam, pada awal abad ke-20 muncul
tekanan serta kecaman kaum humanis dan kaum sosial demokrat di Belanda atas
kekeliruan politik penjajahan pemerintah kolonial Belanda. Keadaan ini akhirnya
memaksa pemerintah kolonial Belanda untuk melaksanakan Politik Etis (1901).
Dengan
semakin sadarnya bangsa Indonesia akan makna nasionalisme dan kemerdekaan, pada
awal abad ke-20 (sejak kebangkitan nasional tahun 1908) lahirlah berbagai
pergerakan. Pergerakan nasional berlangsung dalam jalur politik maupun pendidikan.
Coba Anda urai kembali sejarah berbagai perkumpulan atau organisasi pergerakan
nasional beserta usaha-usahanya yang timbul sejak Kebangkitan Nasional tahun
1908 sebagaimana telah Anda pelajari di SMP dan SMA.
Implikasi dari kondisi politik, ekonomi, dan sosial-budaya di
Indonesia pada zaman ini, secara umum dapat dibedakan dua garis penyelenggaraan
pendidikan, yaitu: Pertama, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial
pendidikan, yaitu: Pertama, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial
Belanda; Kedua, pendidikan yang
diselenggarakan oleh rakyat dan Kaum Pergerakan
Kebangsaan (Pergerakan Nasional) sebagai sarana perjuangan
demi merebut kembali kemerdekaan dan sebagai upaya rintisan ke arah pendidikan
nasional. Berikut ini mari kita kaji kondisi pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Adapun pendidikan yang diselenggarakan oleh
rakyat dan Kaum Pergerakan Nasional akan kita kaji pada kegiatan pembelajaran
2.
Pendidikan Zaman VOC
Pendidikan
di bawah kekuasaan kolonial Belanda diawali dengan pelaksanaan pendidikan yang
dilakukan oleh VOC. VOC menyelenggarakan sekolah dengan tujuan untuk misi keagamaan (Protestan), bukan untuk misi
intelektualitas, adapun tujuan lainnya adalah untuk menghasilkan pegawai
administrasi rendahan di pemerintahan dan gereja. Sekolah-sekolah utamanya
didirikan di daerah-daerah yang penduduknya memeluk Katholik yang telah
disebarkan oleh bangsa Portugis. Sekolah pertama didirikan VOC di Ambon pada
tahun 1607. Sampai dengan tahun 1627 di Ambon telah berdiri 16 sekolah,
sedangkan di pulau-pulau lainnya sekitar 18 sekolah.
Kurikulum pendidikannya berisi pelajaran agama
Protestan, membaca dan menulis.
Kurikulum pendidikan belum bersifat formal (belum tertulis), dan lama
pendidikannya pun tidak ditentukan dengan pasti. Murid-muridnya berasal dari anak-anak pegawai, sedangkan anak-anak
rakyat jelata tidak diberi kesempatan untuk sekolah. Pada awalnya yang menjadi guru adalah orang Belanda, kemudian
digantikan olehpenduduk pribumi, yaitu mereka
yang sebelumnya telah dididik di Belanda.
Selama kira-kira 200 tahun berkuasa di negeri kita, pendidikan yang
dilaksanakan VOC
benar-benar sangat sedikit sekali. Sampai tahun 1779 jumlah murid pada sekolah
VOC adalah sbb: Batavia 639 orang, pantai utara Jawa 327 orang, Makasar50
orang, Timor, 593 orang, Sumatera barat 37 orang, Cirebon 6 orang, Banten 5
orang, Maluku 1057 orang, dan Ambon 3966 orang (I. Djumhur dan H. Danasuparta,
1976).
D. Pendidikan
Swasta Oleh Bumi Putera
Muhammadiyah
Pada tanggal 18
November 1912 K. H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi perkumpulan Muhammadiyah
di Yogyakarta. Muhammadiyah dengan berbagai sekolahnya, didirikan dalam rangka
memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia sesuai dengan kebutuhan bangsa
Indonesia sendiri, untuk mengatasi kristenisasi, dan untuk mewujudkan
masyarakat Islam yang melaksanakan ajaran al-Qur’an dan Hadits sesuai yang diajarkan
Rosululloh (Nabi Muhammad S.A.W
Tujuan Pendidikan
Pendidikan
Muhammadiyah berasaskan Islam dan
berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Tujuan pendidikan Muhammadiyah adalah
membentuk manusia muslim berakhlak mulia, cakap, percaya diri dan berguna bagi
masyarakat. Sebagai orang muslim harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
berjiwa tauhid yang murni; beribadah kepada Allah; berbakti kepada orang tua
dan baik kepada kerabatnya; memiliki akhlak yang mulia dan halus perasaannya;
berilmu pengetahuan dan mempunyai kecakapan; dan cakap memimpin keluarga dan
masyarakat.
Untuk
mencapai tujuannya Muhammadiyah mendirikan
sekolah-sekolah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, di bawah pimpinan
Majelis Pengajaran. Sekolah-sekolah itu di samping memberikan pendidikan agama
Islam, memberikan juga berbagai mata pelajaran seperti di sekolah-sekolah
Pemerintah. Usaha-usaha lain berupa perluasan pengajian-pengajian (di bawah
bimbingan Majelis Tabligh), menyebarkan bacaan-bacaan agama, mendirikan
mesjid-mesjid, madrasah-madrasah, pesantren-pesantren, dan sebagainya.
Pada zaman
Belanda, Muhammadiyah mempunyai bagian-bagian sekolah:
Taman
Kanak-kanak (Busthanul Atfal) Inheemse
Mulo
Sekolah kelas II Normaalschool
Sekolah Schakel Kweekschool
HIS HIK
MULO AMS
Sekolah-sekolah
agamanya:
Ibtidaiyah (SD dengan dasar
Islam)
Tsanawiyah (Sekolah Lanjutan dengan dasar Islam) Diniyah,
yang hanya meberikan pelajaran agama saja Mu’allimin/Muallimat (SGB Islam)
Kulliyatul Mubaligin (SPG Islam)
Kulliyatul Mubaligin (SPG Islam)
Perguruan Taman Siswa
Pada
mulanya Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) bersama rekan-rekannya berjuang di
jalur politik praktis, selanjutnya mulai tahun 1921 perjuangannya difokuskan di
jalur pendidikan. Hal ini Beliau lakukan mengingat Departemen Pengajaran
Pemerintah Belanda bersikap diskriminatif mengenai hak dan penyelenggaraan
pendidikan bagi bagsa kita. Pendidikan Kolonial tidak berdasarkan kebutuhan
bangsa kita, melainkan hanya untuk memenuhi kepentingan kolonial. Isi
pendidikannya tidak sesuai dengan kemajuan jiwa-raga bangsa. Pendidikan
kolonial tidak dapat mengadakan perikehidupan bersama, sehingga kita selalu
bergantung kepada kaum penjajah. Pendidikan kolonial tidak dapat menjadikan
kita menjadi manusia merdeka. Menurut Ki Hadjar Dewantara keadaan ini
(penjajahan) tidak akan lenyap jika hanya dilawan dengan pergerakan politik
saja. Melainkan harus dipentingkan penyebaran benih hidup merdeka di kalangan
rakyat dengan jalan pengajaran yang disertai pendidikan nasional (I. Djumhur
dan H. Danasuparta, 1976). Sehubungan dengan hal di atas pada tgl. 3 Juli 1922
di Yogyakarta Ki Hadjar Dewantara mendirikan "National Onderwijs Institut
Taman Siswa" yang kemudian menjadi "Perguruan Nasional Taman
Siswa".
E.
Pendidikan Zaman Pendudukan Militerisme Jepang.
Kekuasaan
pemerintah kolonial Belanda berakhir
ketika pada tgl. 8 Maret 1942 mereka menyerah kepada militer kerajaan Jepang.
Selanjutnya bangsa Indonesia berada di bawah kekuasaan pendudukan militerisme
Jepang selama hampir 3,5 tahun. Jepang menyerbu Indonesia karena kekayaan
negeri ini yang sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik dan
sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya. Di
balik itu, mereka mempropagandakan semboyan Hakko Ichiu atau semboyan
“kemakmuran
bersama” Asia Timur Raya. Mereka menyat akan bahwa mereka berjuang mati-matian
melakukan “perang suci” (melawan sekutu ) demi kemakmuran bersama Asia Timur
Raya dengan Jepang sebagai pemimpinnya. Namun demikian tujuan pendudukan
militer Jepang lama kelamaan menjadi penindasan. Ada dua kebijakan pemerintah
pendudukan militer Jepang : 1) menghapuskan semua pengaruh Barat di Indonesia
melalui “pen-Jepang-an”, dan 2) memobilisasi segala kekuatan dan sumber yang
ada untuk mencapai kemenangan perang Asia Timur Raya.
Implikasi kekuasaan pemerintahan pendudukan militer Jepang dalam bidang pendidikan di
Indonesia yaitu Tujuan dan isi pendidikan diarahkan demi kepentingan perang
Asia Timur Raya. Contoh: Tiap pagi di sekolah-sekolah dimulai dengan
menyanyikan lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo”.
Upacara pagi dilanjutkan dengan pengibaran bendera Hinomaru dan membungkuk untuk menghormat Tenno Heika. Tiap hari para siswa harus mengucapkan sumpah pelajar
dalam bahasa Jepang, melakukan taiso
(senam), dan diwajibkan pula melakukan kinrohoshi
(kerja bakti). Selain itu, dibentuk PETA sebagai program pendidikan militer
bagi para pemuda; dibentuk barisan murid-murid Sekolah Rakyat (Seinen-tai); dan barisan murid-murid
Sekolah Lanjutan (Gakuto-tai). Hilangnya
Sistem Dualisme dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang bersifat dualistis
membedakan dua jenis sekolah untuk anak-anak bangsa Belanda dan anak-anak Bumi
Putera dihapuskan pada zaman Jepang. Sekolah bersifat terbuka untuk seluruh
lapisan anak Indonesia. Namun demikian, hanya satu jenis sekolah rendah
diadakan bagi semua lapisan masyarakat, yaitu: Sekolah Rakyat 6 tahun (Kokumin Gakko). Sekolah Desa masih tetap ada dan namanya diganti menjadi
Sekolah Pertama. Susunan jenjang
sekolah menjadi:
a.
Sekolah Rakyat 6 tahun (termasuk Sekolah Pertama).
b.
Sekolah Menengah 3 tahun.
c.
Sekolah Menengah Tinggi 3 tahun.
d.
Perguruan Tinggi.
Sistem Pendidikan menjadi lebih
merakyat (populis). Sebagaimana dikemukakan di atas, pada prinsipnya terjadi
perubahan bahwa sekolah menjadi terbuka bagi semua lapisan masyarakat (“Demokrasi Pendidikan”). Hapusnya sistem
Konkordansi dan masuknya sistem baru
yang relatif lebih praktis dan terarah bagi kebutuhan masyarakat, meskipun
kepraktisan tersebut lebih berarti untuk keperluan kemenangan perang Jepang.
Selain itu bahasa Indonesia pertama kalinya dijadikan bahasa pengantar di
sekolah dan dijadikan bahasa ilmiah, di samping tentunya bahasa Jepang.
Sedangkan bahasa Belanda dilarang untuk digunakan (H.A.R. Tilaar, 1995).
F. Perkembangan
Pendidikan Indonesia Tahun 1950-1959 (Demokrasi Liberal)
Setelah
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI
menetapkan UUD1945 sebagai dasar negara. Sejak saat ini jenjang dan jenis
pendidikan mulai disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan bangsa
Indonesia. Contoh: Sekolah Menengah zaman Jepang (Skoto Cu Dakko dan Coto Cu Gakko) diubah menjadi SMTP dan SMTA.
Bersamaan
dengan berjalannya revolusi fisik, pemerintah mulai mempersiapkan sistem
pendidikan nasional sesuai amanat UUD 1945. Beberapa bulan setelah proklamasi
kemerdekaan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K)
mengeluarkan “Instruksi Umum” agar para guru membuang sistem pen didikan
kolonial dan mengutamakan patriotisme.
Selanjutnya, diawali dengan Kongres Pendidikan, Menteri PP dan K membentuk
Komisi Pendidikan dan Komisi ini membentuk Panitia Perancang Undang-Undang
(RUU) mengenai pendidikan dan pengajaran. Karena terganggu dengan pecahnya
perang kolonial kedua, pembahasan RUU di Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BP KNIP) terhenti dan baru dapat dilaksanakan kembali pada
tanggal 29 Oktober 1949. Tanggal 5 April 1950 RUU tersebut diundangkan sebagai
UU RI No.4 Tahun 1950 Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.
UU RI No. 4 Tahun 1950 ini kemudian diterima oleh DPR pada tanggal 27 Januari
1954, kemudian disyahkan oleh pemerintah pada tanggal 12 Maret 1954 dan diundangkan
tanggal 18 Maret 1954 sebagai UU No. 12 Tahun 1954.
G. Perkembangan
Pendidikan Indonesia Merdeka Tahun 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin) dan Zaman
Perkembangan Orde Baru
Tujuan Pendidikan Nasional
Sesuai dengan Tap
MPRS No. XXVI/MPRS/1966 tentang
Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, maka dirumuskan bahwa Tujuan Pendidikan adalah
untuk membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945. Selanjutnya
dalam UU No. 2 Tahun 1989 ditegaskan lagi bahwa pendidikan nasional bertujuan
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Kurikulum
Pendidikan Dalam PJP I telah dilakukan tiga kali perubahan kurikulum pendidikan (sekolah), yaitu apa yang dikenal sebagai:
Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984.
Di
dalam kurikulum 1968 dirumuskan bahwa tujuan pendidikan ialah membentuk manusia
Pancasilais sejati. Isi pendidikannya ialah untuk mempertinggi moral, akhlak
dan keyakinan agama, mempertinggi keterampilan dan kecerdasan, dan mempertinggi
mutu kesehatan fisik yang kuat. Namun demikian, salah satu ciri utama kurikulum
1968 ini yaitu organisasi kurikulumnya masih berorientasi kepada bahan/mata
pelajaran. Dengan mengacu kepada Tap MPR No. II/MPR/1973 tentang GBHN dan
dengan menampung berbagai hasil percobaan dalam bidang pendidikan waktu itu,
maka kurikulum 1968 diperbaharui dengan kurikulum 1975. Kurikulum 1975
dikembangkan dengan menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional
(PPSI), yang selanjutnya dijabarkan ke dalam Satuan Pelajaran atau Modul. Ciri
utama kurikulum 1975 yaitu organisasi kurikulumnya yang berorientasi kepada
tujuan pendidikan, menekankan CBSA dan konsep belajar tuntas. Memang dalam
pelaksanaan kurikulum 1975 ini hierarkhi tujuan pendidikan menjadi jelas, namun
demikian kurikulum ini masih bersifat sentralistik.
Kurikulum Pendidikan Tinggi (PT)
Usaha-usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan tingi termasuk kurikulumnya
juga telah dilaksanakan selama PJP I. Salah satu usahanya adalah dengan
mengganti sistem kontinental dengan
sistem anglo saxis, yaitu dengan
penerapan sistem kredit semester (Sistem SKS) pada pertengahan tahun 1970-an.
Maksudnya adalah untuk meningkatkan efisiensi internal dari PT yang pada saat
itu memang sangat rendah. Selain Sistem SKS, juga mata-mata kuliah yang
diajarkan dikaji dan disesuaikan dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Dalam
rangka inilah dibentuk apa yang disebut konsorsium perguruan tinggi menurut
program studi yang disajikan di PT.
Sarana, Prasarana Pendidikan
Perkembangan pendidikan
di Indonesia selama PJP I secara
kuantitatif merupakan fenomena yang menakjubkan, bukan hanya bagi kita sendiri
tetapi juga bagi dunia luar. Secara akumulatif pertumbuhan rata-rata siswa SD
selama PJP I sekitar 50% pertahun, SLTP 150%, SLA 220%, dan Perguruan Tingi
(PT) 320%. Angka partisipasi kasar SD dari 64% pada permulaan PJP I menjadi
99,7% pada akhir PJP I; SMTP dari 16,9% menjadi 66,7%; SMTA dari 8,6% menjadi
45,1%; dan PT dari 1% menjadi 11%.
Wajib Belajar
Melalui program pembangunan di atas, dan dengan dicanangkannya Wajib Belajar Sekolah
Dasar sejak tanggal 2 Mei 1984, maka pada akhir Pelita II kesempatan belajar
anak-anak usia 7-12 tahun praktis telah dicapai, walaupun tentunya masih
terdapat sejumlah anak-anak yang hidup terpencil, anak-anak luar biasa, maupun
putus sekolah yang masih harus dituntaskan di dalam pembangunan selanjutnya
(pada tahun 1988/1989 atau akhir Pelita IV angka partisipasi SD telah mencapai
99,6% dari jumlah anak usia 7-12 tahun yaitu 30.182.900 anak). Wajib Belajar SD
Enam Tahun pada Pelita V telah diperluas dengan perintisan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Sebab itulah UNESCO pada tahun 1994
menganugerahkan Bintang Aviciena kepada Presiden Republik
Indonesia sebagai pengakuan peranan pemerintah Indonesia dalam memajukan pendidikan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar