KRISIS MONETER INDONESIA : SEBAB, DAMPAK,
PERAN IMF DAN SARAN.
Lepi T. Tarmidi
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak
awal Juli 1997, sementara ini telah berlangsung hampir dua tahun dan telah
berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin
banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur.
Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter
saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang
secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di
banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun
terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan
peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan
kelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun
fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan
disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2 dan Hollinger). Yang
dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah,
neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca
berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa
masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit
surplus. Lihat Tabel. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural
seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli
impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat
yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak
pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim
perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang
sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga
krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini
masih mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak
datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan
yang ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan
gelombang yang datang mengancam.
INDIKATOR UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990 -
1997
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Pertumbuhan ekonomi (%) 7,24 6,95 6,46 6,50 7,54 8,22 7,98 4,65
Tingkat inflasi (%) 9,93 9,93 5,04 10,18 9,66 8,96 6,63 11,60
Neraca pembayaran (US$ juta) 2,099 1,207 1,743 741 806 1,516 4,451 -10,021
Neraca perdagangan 5,352 4,801 7,022 8,231 7,901 6,533 5,948 12,964
Neraca berjalan -3.24 -4,392 -3,122 -2,298 -2.96 -6.76 -7,801 -2,103
Neraca modal 4,746 5,829 18,111 17,972 4,008 10,589 10,989 -4,845
Pemerintah (neto) 633 1,419 12,752 12,753 307 336 -522 4,102
Swasta (neto) 3,021 2,928 3,582 3,216 1,593 5,907 5,317 -10.78
PMA (neto) 1,092 1,482 1,777 2,003 2,108 4,346 6,194 1,833
Cadangan devisa akhir tahun (US$ juta) 8,661 9,868 11,611 12,352 13,158 14,674 19,125 17,427
(bulan impor nonmigas c&f) 4,7 4,8 5,4 5,4 5,0 4,3 5,2 4,5
Debt-service ratio (%) 30,9 32,0 31,6 33,8 30,0 33,7 33,0
Nilai tukar Des. (Rp/US$) 1,901 1,992 2,062 2.11 2.2 2,308 2,383 4.65
APBN* (Rp. milyar) 3,203 433 -551 -1.852 1,495 2,807 818 456
* Tahun anggaran
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank
Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia; World Bank, Indonesia in
Crisis, July 2, 1998
Sebagai konsekuensi dari krisis moneter
ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai
tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya
berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating
yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank
Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang
nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata.
Nilai tukar rupiah kemudian merosot Sebagai konsekuensi dari krisis moneter
ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai
tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya
berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating
yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank
Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang
nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata.
Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp
2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun
kemudian berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.
Krisis Moneter dan Faktor-Faktor
Penyebabnya
Penyebab dari krisis ini bukanlah
fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari
data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri
yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam
negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang
mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang
berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat
tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap
dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah
besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat
banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan
mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi
mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah,
maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat
untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari
berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis
dari faktor-faktor penyebab ini penting, karena penyembuhannya tentunya
tergantung dari ketepatan diagnosa.
Anwar Nasution melihat besarnya defisit
neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistim
perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial (Nasution:
28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersamasama membuat
krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang
pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992
hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri
berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan.
Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerin
Sementara menurut penilaian penulis,
penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan
faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi
pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai
faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas
tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat
mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya. Kondisi di atas
dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang
konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesarbesarnya untuk orang bermain
di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas di dalam negeri atau di
luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga
bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.
Tingkat depresiasi rupiah yang relatif
rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga
1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah
secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan
penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan
pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin
kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga
proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif
murah dan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang
impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak
berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah
yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap serangan dan permainan
spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang nyata.
Akar dari segala permasalahan adalah utang
luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah
mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar
utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan juga Wessel et al.: 22),
ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar
negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar,
bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir
malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak yang
bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah
adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan
membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang
tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam
mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam
negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar
masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Jadi di sini pemerintah
dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama
tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehingga memberi
rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin
besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh
pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan
terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan
proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri,
terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar ini, di samping lebih
menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang dalam teori ekonomi dikenal
sebagai fallacy of thinking2 , di mana pengusaha beramai-ramai melakukan
investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena
masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak
memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut
bersalah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar