BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bangsa Indonesia tentu masih ingat
krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998. Krisis yang menjadi awal
lahirnya krisis di bidang lain, termasuk ekonomi dan politik, dan menjadi
stimulasi delegitimasi pemerintah Orde Baru.
Krisis
yang memporandakan keuangan dan perbankan Indonesia juga terjadi di belahan
negara lain. Namun hal unik yang kemudian muncul adalah komentar para ahli di
bidang perbankan dan ekonomi yang mengatakan bahwa ketika krisis terjadi ada
dua lumbung yang secara ajaib tetap kebal (imune)
terhadap krisis, yakni ekonomi rakyat dan perbankan syariah.
Para
pakar sering mencontohkan bahwa ketika krisis terjadi, usaha kecil seperti Pasar
Tanah Abang dan yang sejenisnya tidak terpengaruh oleh krisis. Ekonomi rakyat
dengan mengagumkan dapat bertahan dan menjadi “penolong” perekonomian. Meski
kecil, namun ekonomi rakyat berhasil menunjukkan kekuatannya.
Namun
yang paling mengagumkan adalah daya tahan yang ditunjukkan oleh perbankan
syariah. Berhubung krisis moneter sangat berkaitan erat dengan perbankan, maka
daya tahan perbankan syariah menjadi sebuah bukti empirik yang tidak
terbantahkan bahwa koridor syariah dalam perbankan bukan sekedar menjadi
alternatif bank konvensional. Keunggulannya bahkan diprediksi dapat menyaingi
bank konvensional.
1.2
Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini
yaitu untuk mempelajari tentang perbankan syariah dalam menghadapi era krisis
moneter (tahun 1998) dan perbandingan dengan bank konvensiaonal pada saat itu.
1.3
Rumusan Masalah
Perumusan masalah dari penulisan makalah ini sebagai
berikut :
1.
Dampak
krisis moneter terhadap bank konvensional,
2.
Memahami
tentang perbankan syariah,
3.
Mengetahui
prinsip perbankan syariah,
4.
Mengetahui
bagaimana bank syariah bertahan pada era krisis moneter (1998).
1.4
Metode Penulisan
Data beserta sumber data dalam penulisan makalah ini
yaitu bersumber dari situs internet yang diharapkan dapat menjadi bahan
pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dampak
Krisi Moneter Terhadap Bank Konvensional
Krisis moneter dan
penurunan nilai tukar rupiah terjadi
karena adanya krisis kualitas lembaga-lembaga keuangan yang berbasis pada
penerapan suku bunga. Tingginya nilai suku bunga sebagai penyebab dari krisis
moneter mengakibatkan ambruknya dunia perbankan dan sektor riil yang
berpengaruh pada ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi.
Ada beberapa hal yang
terjadi pada bank konvensional dan perekonomian Indonesia ketika krisis moneter
melanda:
Pertama, Perbankan konvensional tidak memiliki
ketersediaan dana liquid yang cukup untuk
operasionalnya. Nasabah peminjam mengalami ketidakmampuan untuk
mengembalikan dana pinjaman karena tingginya nilai suku bunga. Kemacetan
pengembalian dana pinjaman dari pihak nasabah ke perbankan berimplikasi pada
ketidakmampuan pihak perbankan untuk mengembalikan dana pinjaman kepada Bank
Indonesia. Sehingga pada saat nilai suku bunga melonjak tinggi, kondisi
ini mengakibatkan goncangan pada sistem manajemen moneter perbankan
konvensional.
Kedua, bank konvensional berbasis sitem ekonomi
kapitalis. Dalam sistem ekonomi yang berbasis kapitalis, prinsip dasarnya
adalah interest base yang menempatkan uang sebagai komoditi yang
diperdagangkan. Hal ini ternyata memberikan implikasi yang serius terhadap
kerusakan hubungan ekonomi yang adil dan produktif.
Ketiga, perbankan konvensional juga cenderung kurang dalam
pengembangan sektor riil dan lebih bermain pada transaksi yang spekulatif
berdasarkan nilai suku bunga. Ini yang dikabarkan menjadi biang terjadi krisis
moneter.
Kemudian sistem manajemen Syariah disebut-sebut dan diyakini dapat menjadi
solusi dalam membangun kembali sistem perekonomian di Indonesia. Sistem ini
menggarisbawahi bahwa uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan bukan
merupakan komoditi yang dapat diperdagangkan, apalagi mengandung unsur
spekulasi yang diyakini dapat mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Selain
itu, sistem Syari’ah juga menekankan bahwa peredaran uang tidak boleh terjadi
hanya dibeberapa kelompok saja, karena akan terjadi konsentrasi modal yang
mengakibatkan lumpuhnya perekonomian pada masyarakat ditingkat bawah. Hal-hal
tersebut yang menjadi pembeda antara bank konvensional dengan bank syariah.
2.2 Memahami Tentang
Perbankan Syariah
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem
perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah atau hukum Islam. Usaha
pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut
maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan
investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, seperti usaha yang
berkaitan dengan produksi makanan atau minuman yang dikategorikan haram,
usaha media yang tidak Islami, dan usaha-usaha lain yang dianggap bertentangan
dengan ajaran Islam.
Perbankan
syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam,
karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai
gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil
bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di
kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967,
dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini,
yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada
usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership
dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Masih
di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan
diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak
disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.
Islamic
Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh
negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun
utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk
menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB
menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara
tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.
Dibelahan
negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul.
Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank
of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank
(1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973
berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims
Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk
menunaikan ibadah [[haji].
Di
Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri
tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan
beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada
akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal.
IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode
1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah
di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998
tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Hingga
tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat
Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum
yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan
bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank Rakyat Indonesia
(Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Tbk).
Sistem syariah
juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang
104 BPR Syariah. Prinsip perbankan syariah.
2.3 Prinsip
Perbankan Syariah
Menurut Bank Indonesia (BI), prinsip-prinsip dasar sistem ekonomi
Islam menjadi dasar beroperasinya bank syariah. Diantara prinsip-prinsip itu
yang paling menonjol adalah dalam bank syariah tidak mengenal konsep bunga uang
(interst) dan
untuk tujuan komersial Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi dilakukan
dengan cara kemitraan atau kerjasama (mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip
bagi hasil. Sedang dalam konteks peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk
tujuan sosial tanpa adanya imbalan apapun.
Beberapa prinsip
lain, sebagaimana dinyatakan oleh BI, yang melekat pada bank syariah adalah:
Pertama, Prinsip Mudharabah, yaitu perjanjian antara dua pihak dimana
pihak pertama sebagai pemilik dana (sahibul
mal) dan pihak kedua sebagai pengelola dana (mudharib) untuk mengelola
suatu kegiatan ekonomi dengan menyepakati nisbah bagi hasil atas keuntungan yang akan
diperoleh. Sedangkan kerugian yang timbul adalah resiko pemilik dana
sepanjang tidak terdapat bukti
bahwa mudharib
melakukan kecurangan atau tindakan yang tidak amanah (misconduct).Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib maka mudharabahdibedakan menjadi mudharabah mutlaqah dimana mudharib diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menentukan pilihan investasi yang dikehendaki.
melakukan kecurangan atau tindakan yang tidak amanah (misconduct).Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib maka mudharabahdibedakan menjadi mudharabah mutlaqah dimana mudharib diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menentukan pilihan investasi yang dikehendaki.
Sedangkan jenis
yang lain adalah mudharabah muqayyaddah dimana arahan investasi ditentukan
oleh pemilik dana, sedangkan mudharib bertindak sebagai pelaksana atau
pengelola.
Kedua, Prisip Musyarakah, yaitu perjanjian antara pihak-pihak untuk
menyertakan modal dalam suatu kegiatan ekonomi dengan pembagian keuntungan atau
kerugian sesuai nisbah yang disepakati.
Musyarakah dapat bersifat tetap atau bersifat temporer dengan penurunan secara periodik atau sekaligus diakhir masa proyek.
Musyarakah dapat bersifat tetap atau bersifat temporer dengan penurunan secara periodik atau sekaligus diakhir masa proyek.
Ketiga, Prinsip Wadiah adalah titipan dimana pihak pertama menitipkan
dana atau benda kepada pihak kedua selaku penerima titipan dengan konsekuensi
titipan tersebut sewaktu-waktu dapat diambil kembali, dimana penitip dapat
dikenakan biaya penitipan. Berdasarkan kewenangan yang diberikan maka wadiah
dibedakan menjadi wadiah ya dhamanah, yang berarti penerima titipan berhak
mempergunakan dana atau barang titipan untuk didayagunakan tanpa ada kewajiban
penerima titipan untuk memberikan imbalan kepada penitip dengan tetap pada
kesepakatan dapat diambil setiap saat diperlukan, sedang disisi lain wadiah
amanah tidak memberikan kewenangan kepada penerima titipan untuk mendayagunakan
barang/dana yang dititipkan.
Keempat, Prinsip Jual Beli (Al Buyu’), yaitu terdiri dari:
(1) Murabahah, yaitu akad
jual beli antara dua belah pihak dimana pembeli dan penjual menyepakati harga
jual yang terdiri dari harga beli ditambah ongkos pembelian dan keuntungan bagi
penjual. Murabahah dapat dilakukan secara tunai bisa juga secara bayar tangguh
atau bayar dengan angsuran;
(2) Salam, yaitu pembelian
barang dengan pembayaran dimuka dan barang diserahkan kemudian;
(3) Ishtisna, yaitu
pembelian barang melalui pesanan dan diperlukan proses untuk pembuatannya
sesuai dengan pesanan pembeli dan pembayaran dilakukan dimuka sekaligus atau
secara bertahap.
Kelima, Prinsip Jasa-Jasa terdiri dari:
(1) Ijarah, yaitu kegiatan
penyewaan suatu barang dengan imbalan pendapatan sewa, bila terdapat
kesepakatan pengalihan pemilikan pada akhir masa sewa disebut Ijarah mumtahiya
bi tamlik(sama dengan operating lease);
(2) Wakalah, yaitu pihak
pertama memberikan kuasa kepada pihak kedua (sebagai wakil) untuk urusan
tertentu dimana pihak kedua mendapat imbalan berupa fee atau komisi;
(3) Kafalah, yaitu pihak
pertama bersedia menjadi penanggung atas kegiatan yang dilakukan oleh pihak
kedua sepanjang sesuai dengan yang diperjanjikan dimana pihak pertama menerima
imbalan berupa fee atau komisi (garansi);
(4) Sharf, yaitu pertukaran
/jual beli mata uang yang berbeda dengan penyerahan segera berdasarkan
kesepakatan harga sesuai dengan harga pasar pada saat pertukaran.
Keenam, Prinsip Kebajikan, yaitu penerimaan dan penyaluran dana
kebajikan dalam bentuk zakat infaq shodaqah dan lainnya serta penyaluran
alqardul hasan yaitu penyaluran dan dalam bentuk pinjaman untuk tujuan menolong
golongan miskin dengan penggunaan produktif tanpa diminta imbalan kecuali
pengembalian pokok hutang.
Prinsip-prinsip
tersebut berdiri di atas landasan prinsip ekonomi Islam bahwa bank syariah
berfungsi sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yang
dipercayakan oleh pemegang rekening investasi atau deposan atas dasar prinsip
bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank; sebagai pengelola investasi
atas dana yang dimiliki oleh pemilik dana atau sahibul mal sesuai dengan arahan
investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana (dalam hal inibank bertindak
sebagai manajer investasi); sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan
jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; sebagai
pengelola fungsi sosial seperti pengelolaan dana zakat dan penerimaan serta
penyaluran dana kebajikan (fungsi optional).
2.4 Perbankan
Syariah Bertahan Pada Era Krisis Moneter
Melalui prinsip-prinsip itu bank syariah bergerak dan pada
perkembangannya ternyata memberikan kontribusi yang nyata bagi perekonomian
negara. Kekebalannya terhadap krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997, dan
juga pada krisis global tahun 2008, telah membuat kalangan akademisi dan
praktisi semakin serius mengkaji perbankan syariah. Tidak kurang International
Monetary Fund (IMF)
juga turut melakukan berbagai kajian terhadap perbankan syariah sebagai alternatif
keuangan internasional yang belakangan sering mengalami ketidakstabilan dan
menyebabkan terjadinya krisis dan keterpurukan ekonomi akibat lebih dominannya
sektor finansial dibanding sektor riil dalam hubungan perekonomian dunia.
Wajar jika
perbankan syariah kini menjadi trend yang semakin diminati oleh para nasabah
tanah air. Berkaca pada kasus Bank Century yang belum lama terjadi, perbankan
syariah dapat menjadi pengganti pemenuh kebutuhan masyarakat dalam bidang
keuangan. Alasannya sederhana saja: perbankan syariah berlaku adil, kebal
terhadap krisis karena berdasarkan pada prinsip kemitraan, dan dikelola secara
jujur berlandaskan intepretasi ajaran Islam yang berkiblat pada tujuan
“rahmatan lil ‘alamin.”
Ini sangat
berbeda dengan konsep dasar perbankan yang berbasiskan sistem kapitalisme,
dimana pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya dengan berbagai cara menjadi
hal yang dibenarkan. Jika kemudian masih terdapat keraguan untuk terus
mengembangkan perbankan syariah dan menganggap tujuan perbankan syariah sebagai
sebuah utopia, maka itu merupakan anggapan yang tergesa-gesa.
Namun perlu juga
dicermati beberapa hal yang berhubungan dengan prinsip dasar dan perkembangan
trend bank syariah:
Pertama, meski secara normatif prinsip
perbankan syariah menolak riba, namun pada kenyataannya, menurut beberapa pakar
ekonomi Islam, unsur riba masih melekat pada perbankan syariah. Meski
ditegaskan unsur riba, jika ada, hanya kecil, maka ini tetap menjadi catatan
penting dalam bisnis perbankan syariah. Karena jika demikian, apa bedanya
dengan bank konvensional. Semakin dibenarkan keberadaan riba, yang sebetulnya
bisa menjadi pembeda antara bank syariah dengan bank konvensional, maka akan
semakin mirip bank syariah dengan bank konvensional, beserta daya tahannya
terhadap krisis.
Kedua, trend perkembangan perbankan
syariah yang menjadi bagian dari bank konvensional di satu sisi memberi
justifikasi empirik bahwa sistem syariah teruji di lapangan, dan ini kabar
bagus. Namun, di sisi lain trend itu menunjukan fakta bahwa bank konvensional
ramai-ramai juga ikut menerbitkan syariah dalam sistem perbankannya. Hal ini
ditakutkan akan mengaburkan unique selling point perbankan syariah yang sejati, dan
tercampur dengan bumbu-bumbu kapitalisme. Nasabah yang menabung pada perbankan
syariah umumnya karena dorongan keyakinan keagamaan dan untuk menghindari riba.
Nasabah juga menabung dengan asumsi bahwa bank syariah lebih adil, aman dan
menguntungkan. Jika terjadi pergeseran, misalnya riba semakin dibenarkan untuk
diadopsi dalam prinsip perbankan syariah, maka ini tidak ada bedanya dengan
bank konvensional. Nilai keunikan perbankan syariah akan hilang, dan segmentasi
pasarnya akan memudar.
Ketiga, sistem kapitalisme diakui
merupakan sistem yang sampai saat ini tahan banting, dengan segala
kekurangannya. Tentu ini merupakan anggapan yang bias Barat. Namun
demikian harus diakui daya tahan sistem kapitalisme cukup mampu menjawab
tantangan zaman dengan berbagai eksesnya kepada manusia. Salah satu daya tahan
sistem ini adalah karena bersedia mengadopsi sistem lain kemudian merubah
sistem lain itu dengan corak dasar kapitalisme. Saat ini hanya sistem ekonomi
Islam dan perbankan syariah yang menjadi pesaing sistem ekonomi kapitalisme dan
bank konvensional. Respons untuk mengungguli pesaing tentu ada dalam diri
sistem kapitalisme. Hal ini perlu dicermati betul oleh para konseptor dan
praktisi perbankan syariah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
jika melihat fakta, dan dihubungkan dengan krisis yang pernah
beberapa kali terjadi di dunia, perbankan syariah masih diakui masyarakat
sebagai sistem yang kebal terhadap krisis.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/E736319E-6D52-4199-ACF9-247D719BF119/3018/bempvol2no3des99.pdf
http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/uncategorized/menampilkan-wajah-sosial-bank-syari%E2%80%99ah-ditengah-potret-kemiskinan-masyarakat.html
http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/eureka/2004/0326/eur1.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar